
Tontonlah Artis Kita di Acara rolling show
penggemar. Maklum, senyuman sang superstar yang disertai lambaian tangan tidak dipastikan mencerminkan pola pikir mereka yang sia-sia. Beberapa dari mereka benar-benar memerah ketika mereka berjalan seperti model perkiraan kehidupan.
Pemain Powerslaves, Heydi Ibrahim, mengulas sementara urusan sosialnya menghargai hari-hari yang penuh dengan kunjungan. Rencananya tipikal. Sorenya parade keliling kota. Malamnya ada pertunjukan,” ujarnya, Kamis (19/8/2021).
Heydi dan rekan-rekannya diangkut dengan mobil jeep terbuka. Pertemuan peringatan, dengan penyempurnanya, mengomunikasikan pertunjukan tersebut sebagai sesuatu yang menyegarkan seperti yang dapat diharapkan. “‘Lihat para Powerslave!’ teriaknya, “Kadang-kadang disusul anak-anak yang naik sepeda atau lepas landas sambil berteriak-teriak,” ujarnya gembira.
Penduduk segera mengundang anak cemerlang mereka ke seluruh kota. Di hadapan mereka, seorang legenda terlihat bergerak sambil tersenyum. Berbeda dengan penampilannya yang pasti, Heydi justru merasakan kebelakang. “Kalau memperhitungkan semuanya, saya malu. Bagaimanapun, kami sangat ingin membantu menjunjung tinggi. Yang pasti, itu yang mendasar untuk penampilan,” ujarnya.
Ini adalah tindakan biasa yang dilakukan penyanyi terkenal dari tahun 1970an hingga 1990an sebelum pertunjukan. Di malam yang hangat hingga malam hari, mereka mengundang penggemarnya. Yang jelas kita pengen banget senyum-senyum. Sampai gigi kriuk-kriuk, angin sepoi-sepoi,” kata Heydi.
Selain kegiatan prosesi sebelum pertunjukan yang bersifat “moving show”, para penghibur juga perlu melakukan perjalanan ke berbagai stasiun radio untuk dinilai. Deklarasi dikibarkan, spanduk digantung, dan selebaran dibagikan. Belum ada pengalihan online yang sah. Iring-iringan mobil juga sudah hilang,” ujarnya.
Mengalami infeksi
Atiek CB mempunyai pengalaman yang hampir sama. Pemain batu juga sering dipindahkan ke dalam dan dari kota dengan truk sebelum beraksi di malam hari. Kayaknya boneka yang dipajang,” ucapnya sambil terkekeh.
Beberapa kali Atiek terserang penyakit karena menyimpan sisa makanan di bak mandi terbuka. Dia sering kali bertanya mengapa dia berharap melakukan itu. “Saya berpikir, apa yang saya lakukan di sini, tapi itu luar biasa. Itu adalah momen yang tidak perlu dipertanyakan lagi bagi saya,” katanya sambil tertawa.
Tamasya bisa memakan waktu tiga jam hingga senja. Atiek menilai episode tersebut sangat menarik dan sebagai apresiasi bagi para pengagumnya. “ Saya pernah diburu ke bandara,” ujarnya.
Dia sangat lumpuh dan terharu. Penggemar bersahaja itu mengendarai sepeda motornya hanya untuk menghadiahkan keripik pisang Atiek. “Menantang untuk diabaikan. Siapa saya? Saya juga bersyukur. Dulu, bekerja pada saat itu menyenangkan,” katanya.
Sementara bagi Achmad Albar, menjadi gambaran Nikmat Tuhan merupakan sebuah anugerah meski terkadang bermasalah. Dia harus dapat diakses selama perkembangan, termasuk berjalan-jalan di sekitar kota sebelum panggung. Mereka angkuh, sebagian besar mengenakan pakaian panggung penuh: pakaian ketat dan sepatu hak tinggi.
“Biasanya sore menjelang manggung. Paling memberatkan kalau dididik seperti itu, dia. Tapi itu krusial dan wajib karena ada permintaan dari promotor.” untuk mengambil tikungan,” kata Albar.
Perkembangan ini secara keseluruhan terjadi di daerah. Jujur saja, di wilayah metropolitan di kawasan timur Indonesia, beberapa waktu lalu mereka sempat jalan-jalan. “Kalau orangnya bermacam-macam, mungkin tidak boleh datang karena sedang flu,” kata Albar sambil terkikik.
Selera pasar
Pertunjukan-pertunjukan di masa lalu, para penghibur juga harus menghadapi berbagai kekusutan, mulai dari kemajuan hingga “kekuatan” bisnis musik. Heydi, vokalis Powerslaves, menyampaikan bahwa untuk merekam lagu, ia harus tetap sadar hingga larut malam di studio. Memadukan hingga tujuh jam secara konsisten untuk bernyanyi. “Asumsikan itu dihentikan. Keluar dan keluar, satu atau dua bulan sebelum selesai. Sampai sekarang, beberapa lagu diselesaikan setiap hari. Pada dasarnya menyusun ulang paduan suara,” katanya.
Selagi rekaman selesai, lanjut Heydi, lumrahnya para Powerslaves harus berebut nama para pemimpin karena lagu-lagu yang mereka kagumi dianggap tidak sesuai dengan “selera pasar”. Referensinya diubah ke bahasa Indonesia. Enggak mungkin. Akhirnya lagu legenda itu menjadi ‘Impian’,” ujarnya.
Memiliki pilihan untuk merekam memang merepotkan. Penghibur perlu menggedor pintu nama secara eksklusif untuk mempersembahkan lagu. Jika mereka beruntung dan lagu tersebut dianggap “sesuai selera pasar”, mereka dapat merekamnya.
Satriyo Yudi Wahono, nama pena Piyu, gitaris Padi, menceritakan, untuk bisa rekaman, ia bersikap seolah-olah dekat dengan Jan Djuhana, pencipta Sony Music Indonesia. Hal itu ia lakukan saat pertama kali bertemu Jan di panggung Dewa 19. Piyu saat itu menjadi ahli materi pelajaran gitar Dewa 19. Acara ini dihadiri oleh para pionir prangko.