Rivalitas China Bisa Jadi Peluang Baik Untuk Indonesia
Pertentangan, antara AS dan. Tiongkok di kawasan, Indo-Pasifik, mempunyai dampak, positif dan. merugikan. Di tengah persaingan, tersebut, Indonesia dinilai, siap menempatkan, diri dan mencari, keuntungan.
Pandangan itu muncul dari hasil penjajakan Rombongan Eksplorasi Politik Asing dari Focal Point Eksplorasi Politik Organisasi Penjelajahan dan Pemajuan Masyarakat (PRP BRIN) yang diberangkatkan pada Kamis (7/12/2023) di Jakarta. Hadir dalam pelepasan tersebut Fasilitator Kelompok Eksplorasi Emilia Yustiningrum, Top of the Middle for Asia Pacific and Africa Strategy Methodology at Service of International Concern, Vahd Nabyl Achmad Mulachela, serta pembicara pada Cabang Hubungan Global FISIP, Fakultas Indonesia, Shofwan Al Banna Choiruzzad.
Tinjauan ini ditujukan di kalangan pencipta strategi dan skolastik. Emilia memahami bahwa sudut pandang responden disesuaikan dengan perebutan pengaruh kedua negara atas Indonesia. Persepsi responden berbeda-beda mengenai keamanan dan keamanan keuangan.
Di bidang, keamanan, responden memiliki, pemahaman yang jelas. bahwa Amerika Serikat, memiliki pengaruh, yang lebih besar, dibandingkan dengan, Tiongkok, meskipun pada tingkat, yang berbeda,-beda. Sementara, itu, di bidang, keuangan, tinjauan menunjukkan, bahwa Tiongkok, memiliki dampak, yang jauh lebih. besar dibandingkan Amerika.
Menurut, Emilia, sebagian dampak, nyata Tiongkok terhadap, perekonomian Indonesia, harus terlihat dari, berbagai, proyek besar, yang muncul berkat, partisipasi Indonesia-,Tiongkok. Upaya tersebut, antara lain pembangunan, kereta cepat, Whoosh, penambangan di, Sulawesi, dan pembangunan ibu, kota Indonesia.
Responden juga mengungkapkan, dari berbagai upaya terkoordinasi, gagasan Belt and Street Drive (BRI) lebih dikenal dan dibutuhkan oleh Indonesia dibandingkan upaya terkoordinasi lainnya, misalnya Quad atau AUKUS yang lebih bersifat strategis. Responden yang melakukan survei menyatakan bahwa kontribusi Indonesia pada BRI telah memperkuat perekonomian Indonesia.
Kelompok eksplorasi dalam kajian tersebut menemukan bahwa hubungan Indonesia-AS lebih banyak terkait dengan isu legislasi, militer, serta safeguard dan security. Sementara itu, hubungan dengan Tiongkok lebih banyak pada bidang moneter.
Tinjauan tersebut mengamati bahwa reaksi dan pengaturan otoritas publik sesuai dengan standar strategi internasional yang bebas dan dinamis. Indonesia dapat menggunakan ASEAN View on the Indo-Pacific (AOIP) sebagai tahapan untuk membatasi konflik lokal sekaligus mencapai kepentingan moneter teritorial.
Bagaimanapun, para pembuat strategi dan akademisi menilai apa yang terjadi juga membahayakan kepentingan keuangan publik Indonesia. Ini bisa jadi jadi persoalan kalau tidak ditelaah secara mendalam. jebakan kewajiban,” kata Emilia.
Shofwan mengatakan BRI lebih dikenal karena berbagai usaha yang ada di dalamnya dinilai sebagai upaya untuk membantu ketersediaan antar kabupaten di Indonesia. Menurutnya, penemuan tersebut berdasarkan temuan penelitian yang dipimpin oleh organisasi lain, seperti Forum Strategi Internasional Indonesia (FPCI) – Eria dan ISEAS Yusof-Ishak.
Shofwan mengakui BRI yang dirintis Tiongkok lebih dikenal dengan alasan Beijing lebih liberal dibandingkan AS dalam memberikan partisipasi moneter. Disebutkan Shofwan, gagasan kolaborasi moneter yang digagas Amerika, seperti Indo Pacific Financial Participation Structure (IPEF), sudah berjalan kesana kemari dan memunculkan banyak persoalan.
Realitas AS dalam memberdayakan partisipasi keuangan dengan negara-negara di kawasan ini kini sedang ditangani. ” kata Shofwan.
Ia memahami, bahwa pemerintah AS. mengalami kesulitan, dalam mewujudkan hal ini karena, hal tersebut tidak berdampak pada, pembuatan strategi. bagi organisasi-organisasi, yang akan menyalurkan, sumber dayanya ke kawasan Indo-Pasifik.
Jepang, yang juga mendorong IPEF, juga mengalami kesulitan dalam memindahkan inovasi ke negara-negara tujuan. “Untuk sementara, Tiongkok yang memberi terlebih dahulu. Dengan asumsi ada transformasi, maka bisa dibicarakan akan datang,” kata Shofwan.
Nabyl, mengatakan, unsur persaingan. antara AS dan Tiongkok, di wilayah tersebut menyiratkan, bahwa Indonesia perlu menjaga, situasi agar tidak ikut serta. dalam salah satu, pertemuan tersebut. Indonesia, memiliki hubungan baik dengan, Tiongkok dan Amerika.
Indo-Pasifik menampung tujuh kekuatan militer penting dunia, mulai dari Tiongkok, Amerika Serikat hingga India. Dari tahun 2005 hingga 2025, banyak negara telah meningkatkan belanja taktis mereka. Mereka berusaha mendapatkan perlindungan dan keamanan yang lebih baik, sehingga memicu kontes senjata.
“Wilayah ini penting karena kehadiran mereka. Namun, hubungan mereka secara umum tidak sejalan,” kata Nabyl.
Dalam perspektif Service of International, menurut Nabyl, hal lain yang harus menjadi fokus adalah AUKUS dan demiliterisasi atom di tingkat lokal. Selain itu, ada bahaya pelanggaran transnasional.
Nabyl mengatakan, Indonesia dan ASEAN, mempunyai kepentingan untuk, menjaga kestabilan Indo-,Pasifik. ASEAN di bawah kepemimpinan, Indonesia pada tahun, 2023 telah mencanangkan, Asia Tenggara sebagai,pusat pembangunan. ASEAN percaya tidak boleh ,ada kerusuhan yang, dapat mempengaruhi, kapasitas individu. untuk menyelesaikan masalah dan memberikan bantuan, pemerintah kepada, warganya.