Ketenangan Beserta Makanan Orang Osing
Perlu membangun berarti Anda bisa makan. Jangan repot-repot menderita karena kelaparan. Itulah jalan menuju ketentraman hidup bangsa Osing di Kota Kemiren ujung Jawa Timur. Sebuah praktik yang sederhana, betapapun mendalamnya.
Memasuki Kota Kemiren di Kawasan Glagah, Banyuwangi, ibarat memasuki “jalan” yang tenang. Senyuman mengembang dimana-mana seolah seluruh warga sudah terbebas dari tekanan hidup, yang bagi sebagian orang sama sekali tidak yakin.
Bagaimana tidak, alam praktis telah menyediakan seluruh kebutuhan pangan dan minuman masyarakat Kemiren. Harga cabai yang meroket akhir-akhir ini tentu bukan masalah besar bagi mereka karena cabai berlimpah di hampir setiap pekarangan atau di pinggir sawah.
Mbah Ning (78) kami temui, Jumat (17/11/2023), saat ia sedang berjalan-jalan di bentur atau pekarangan rumah yang mirip toko kelontong khasnya. Dia mencabut beberapa rumput liar dan beberapa jenis daun. Sejak saat itu, dia kembali ke dapurnya.
Malam itu, dia memasak tumpeng dengan lahap untuk tujuan kesejahteraan malam ini. Saat memasak, Mbah Ning tidak mengintip sedikit pun. Harap tenang. Terlebih lagi, tidak ada seorang pun di dapur yang berteriak. Setelah makanan disiapkan dan semua parade keamanan selesai, barulah ia menceritakan kisahnya.
Ia menceritakan kisah bermula dari gaya hidup masyarakat Kemiren. “Masyarakat Kemiren perlu menanam. Supaya sayurnya banyak dan tidak kelaparan. Tak usah repot-repot membeli. Itu sebabnya kamu tenang, jiwamu tidak banyak berpikir,” kata Mbah Ning. , yang pada malam itu mengenakan pakaian adat masyarakat Osing Kemiren yakni kebaya berwarna gelap dipadukan dengan bahan batik, rambutnya dipadukan dengan sanggul sempurna.
Ia melanjutkan ceritanya tentang tumpeng serakat yang semua bahannya diambil dari pekarangan atau sawah di Kemiren. Tumpeng yang tak pernah terpuaskan ini hanya dihidangkan untuk selamatan. Tumpeng menyiratkan kepercayaan bahwa produsen dapat menghindari hambatan atau mengatasi hambatan dengan baik. Saat tumpeng disajikan, di bawah daun pisang, alas nasi tumpeng, ditaruh banyak serak.
“Serakat itu sobekan, penghalang yang diwakili oleh daun-daun yang diletakkan di bawah tumpeng. Ini untuk setting, bukan untuk dimakan,” kata Mbah Ning.
Ada sembilan jenis daun yang dipetik Mbah Ning saat serak siang tadi di halaman rumahnya, yakni daun lang (alang), oppok, awar, emer, klampes, kemuning, lemetok, londok, dan sriwangkat. Nama lingkungan biasa di Osing.
Tumpeng serakat terdiri dari nasi tumpeng yang dipadukan dengan kuah rebusan dan aneka sayuran bergelembung seperti ketimun, daun katu, kacang panjang, makanan penutup, terong, dan lain-lain. Masyarakat Kemiren menyebut sayuran baru ini sebagai lung-lungan yang artinya membuat perbedaan. Ada begitu banyak gambar di piring Tumpeng Serakat.
Hari itu Mbah Ning juga memasak pecel pithik. Sekali lagi, saat memasak, Mbah Ning tidak berbicara. Makanan juga tidak bisa dicicipi. Cukup ukur perkiraan rasa dan segera cicipi campurannya.
“Tidak mungkin memasak pecel pithik tanpa tujuan. Harus menjadi pribadi yang sempurna, tidak tercemar, tidak Hoki99 jorok (menopause),” kenang Mbah Ning. Bagi Mbah Ning, hal ini akan menjamin bahwa makanan yang dihidangkan untuk adat istiadat itu benar-benar berkah. dan bersih.
Ayam untuk pecel pithik harus utuh sejak awal hingga disajikan. Ayam harus disembelih setelah mereka diminta dan dimakan oleh Tuhan. Cara berpikirnya adalah ayam yang disembelih setelah dimohonkan kepada Tuhan dan disebarluaskan telah mendapat wakaf.
Saat malam tiba, seluruh makanan yang telah dimasak Mbah Ning dibawa ke halaman yang telah ditutupi tikar untuk disebar. Para pengunjung duduk bersila di depan masing-masing tumpeng. Direktur Organisasi Konvensional Osing, Kota Kemiren, Suhaimi (64) mulai mendorong petisi. Sejak saat itu, tentu saja, makan bersama.
Selamat atas terselenggaranya Perayaan Kemiren “Raksa Rumyat Bentur” yang akan berlangsung pada tanggal 17-19 November 2023 di Kota Kemiren telah terlaksana. Para pengurus, yang umumnya kaum muda kota dan penduduk Kemiren, bersikap ceria.
Seperti halnya parade memasak, makan dalam adat Osing Kemiren juga penting dalam praktik adat tersebut. Dengan demikian, makan sarat dengan penalaran hidup, permintaan dan tingkah laku. Pengunjung, misalnya, tidak akan berani menghubungi makanan yang disajikan sebelum mereka menyelesaikan proses permintaan. Mereka pun hanya akan mengambil makanan yang ada di hadapan mereka. Titik puncaknya adalah lutut kedua anggota saat kaki terlipat. Melewati kedua lutut, berarti makanan tersebut adalah porsi orang lain.
Pada acara makan seperti inilah adat Osing Kemiren ditegaskan dan diwariskan dari zaman ke zaman hingga kini.
Para wanita – khususnya ibu-ibu yang sudah lanjut usia – mempunyai peran penting dalam menjalankan dan menjaga tradisi kuliner Osing Kemiren. Betapa tidak, praktis semua informasi tentang adat istiadat makan dipegang oleh ibu-ibu yang lebih tua.
Laki-laki adalah penjaga gerbang adat istiadat sosial. Mereka duduk di kursi organisasi konvensional dan menetapkan rencana keluar ketika adat istiadat harus bergulat dengan kemajuan zaman. Hal ini terlihat dari pecel pithik yang saat ini diperbolehkan untuk dijual atau disajikan kepada masyarakat dengan berbagai teknik perencanaan dan pertunjukan.