Australia Tidak Mau Mengirim Kapal Perang Di laut Merah

Australia Tidak Mau Mengirim Kapal Perang Di laut Merah

Australia Tidak Mau Mengirim Kapal Perang Di laut Merah
Australia tidak akan mengirimkan kapal perang atau jet tempur untuk memperkuat koalisi yang dibentuk Amerika Serikat untuk melindungi perairan Laut Merah dari serangan kelompok Houthi di Yaman. Canberra hanya akan mengirimkan 11 personel militer untuk bergabung dalam operasi tersebut.

Kepastian tersebut disampaikan Menteri Pertahanan Australia Richard Marles di Canberra, Australia, Kamis (21/12/2023). Australia merupakan salah satu mitra dekat Amerika Serikat (AS) di kawasan Pasifik.

Marles beralasan, keputusan tidak mengirimkan kapal perang atau jet tempur ke Laut Merah karena Australia ingin tetap lebih fokus di kawasan Pasifik. “Kami harus benar-benar jelas mengenai fokus strategis kami. “Fokus strategis kami adalah Samudera Hindia bagian timur laut, Laut Cina Selatan, Laut Cina Timur, dan Pasifik,” ujarnya.

Menteri Pertahanan AS Lloyd Austin pada Senin (18/12/2023) mengumumkan pembentukan Operation Prosperity Guard, sebuah inisiatif keamanan multinasional baru di bawah payung Joint Maritime Forces (CMF) dan dipimpin oleh Task Force 153, dengan fokus pada keamanan. di Laut Merah.

Sejumlah negara mendukung operasi tersebut, antara lain Inggris, Bahrain, Kanada, Prancis, Italia, Belanda, Norwegia, dan Spanyol. Operasi multinasional ini bertujuan untuk melindungi kapal dagang komersial dari serangan dan menjamin keamanan regional.

Seperti diberitakan, jalur perdagangan utama di Laut Merah terganggu akibat gelombang serangan kelompok bersenjata Houthi di Yaman terhadap kapal kargo, terutama yang dianggap memiliki hubungan dengan Israel. Kelompok Houthi menegaskan bahwa mereka tidak akan menghentikan serangannya sebelum Israel menghentikan serangan terhadap warga Palestina di Jalur Gaza.

Sejumlah kapal niaga yang diserang kelompok Houthi mengalami kerusakan. Situasi tidak aman di jalur perdagangan utama di Laut Merah mendorong perusahaan pelayaran mengalihkan jalur transportasinya ke jalur lain yang lebih jauh. Hal ini akan berdampak pada kenaikan harga barang konsumsi.

Marles mengatakan AS menyadari besarnya kekuatan pertahanan Australia dan kebutuhan Australia untuk tetap fokus di kawasan Asia Pasifik. Ia menambahkan, 11 personel militer Australia tersebut akan dikirim ke markas Operation Prosperity Guard di Bahrain pada Januari 2024. Saat ini, menurut Marles, sudah ada lima personel militer Australia yang ditempatkan di sana.

“Kalau aset (militer) kita tempatkan di Timur Tengah, berarti kita harus mengambil dari aset yang kita tempatkan di kawasan Asia Pasifik,” kata Marles.

Dia menolak kritik oposisi yang mengatakan jika Australia tidak mau mengirimkan kapal perang, seperti yang diminta AS, Australia akan dianggap sebagai sekutu yang tidak dapat diandalkan. “(Kritik tersebut) benar-benar konyol,” kata Marles.

Berbeda dengan Marles, juru bicara pertahanan oposisi di Parlemen Australia, Andrew Hastie, mendesak Pemerintah Australia mengirimkan kapal perang ke Laut Merah. ”Australia berkepentingan untuk berkontribusi. “Jika kita ingin orang lain membantu kita pada saat kita membutuhkan, sekaranglah saatnya kita bertindak,” kata Hastie.

Secara terpisah, Yunani mengatakan pihaknya bergabung dengan operasi multinasional pimpinan AS dengan mengerahkan kapal fregat Angkatan Laut. Menteri Pertahanan Yunani Nikos Dendias menyatakan sesuai perintah Perdana Menteri Kyriakos Mitsotakis, satu unit fregat dari Angkatan Laut Yunani akan bergabung dalam gugus tugas tersebut.

Dalam pernyataan yang disampaikan melalui siaran televisi, Dendias menyatakan Yunani mempunyai “kepentingan mendasar” dalam mengatasi “ancaman besar” terhadap transportasi laut dunia.

Situasi tidak aman di Laut Merah akibat serangan milisi Houthi terhadap kapal internasional membuat dunia pelayaran serasa kembali ke 600 tahun yang lalu. Saat itu, penjelajah asal Portugal, Bartolomeu Dias dan Vasco da Gama, harus mengelilingi separuh bumi untuk sampai ke Asia.

Rute Laut Merah kini menjadi terlalu Babe138 berbahaya. Pemberontak Houthi di Yaman menembaki kapal dagang di Laut Merah. Mereka ingin mencegah kapal-kapal tersebut berlabuh di Israel. Serangan tersebut merupakan bentuk dukungan Houthi terhadap Hamas yang berperang melawan Tel Aviv.

Puluhan kapal kargo telah ditembaki oleh Houthi. Menanggapi hal tersebut, pada Sabtu (16/12/2923) Orient Overseas Container Line (OOCL) mengumumkan akan menghentikan pengangkutan kargo ke dan dari Israel.

Perusahaan yang berbasis di Hong Kong ini menyalip empat raksasa pelayaran global lainnya. Hapag-Lloyd, Maersk, MSC dan CMA-CGM mengumumkan mereka akan berhenti berlayar di jalur Laut Merah karena alasan keamanan. Hingga 55 persen transportasi laut global dikendalikan oleh Hapag-Lloyd, Maersk, MSC dan CMA-CGM.

Kini, banyak perusahaan transportasi laut global harus menavigasi jalur pelayaran penjelajah Portugis dari abad ke-15. Rutenya harus mengelilingi benua Afrika, melewati Tanjung Harapan.

Hal ini terjadi karena jalur Laut Merah kini praktis ditutup. Akibatnya, kapal harus mengarungi lautan selama seminggu hingga sebulan lebih lama tanpa melihat daratan.

Perubahan rute tersebut berdampak pada perekonomian global. Barang-barang dari Asia yang diekspor ke Eropa biasanya diangkut dengan kapal melintasi Laut Merah dan melintasi Terusan Suez di Mesir hingga mencapai Laut Mediterania.

Selat Bab al-Mandab yang terletak di antara Yaman, Djibouti, dan Eritrea merupakan pintu masuk Laut Merah dari selatan. Selat ini praktis dikuasai oleh Houthi.

Akhir pekan lalu, Houthi menembakkan rudal ke dua kapal kontainer. Meski tidak ada korban jiwa, namun kapal mengalami kerusakan.

Sebelumnya, Houthi menembak MT Strinda. Kapal tersebut membawa minyak sawit dari Malaysia menuju Italia. Dilansir dari surat kabar Indian Telegraph, seluruh kru MT Strinda berasal dari India.

Milisi Houthi menghubungi kapten kapal dan menyuruhnya berbalik dan meninggalkan Selat Bab al-Mandab. Kapal terpaksa berlayar ke Madagaskar dan terus ke Tanjung Harapan.

Surat kabar tersebut memberitakan bahwa jalur ekspor dari India ke Eropa akan terganggu. Biasanya jika berangkat dari pantai barat India, perjalanan memakan waktu 18 hari. Jika kapal-kapal tersebut tidak bisa mengakses Terusan Suez, pelayaran akan memakan waktu 31 hari.

“Dunia berada di ambang krisis ekonomi baru. Terusan Suez tidak dapat diakses karena alasan keamanan. “Semua pelayaran global harus melalui rute yang panjang,” kata Peter Sands, analis dari perusahaan pelayaran internasional Xeneta kepada Indian Telegraph, Senin (18/12/2023).

Terusan Suez merupakan terobosan besar dalam transportasi dan teknik modern. Kanal yang menghubungkan Laut Merah dan Laut Mediterania ini dibangun oleh perusahaan Perancis bernama Le Suez pada tahun 1859-1869.

Ekonom Harry Broadman dalam bukunya, Africa’s Silk Road (2007), menjelaskan bahwa pada abad ke-19, Terusan Suez menyelamatkan pelayaran kapal uap dari India ke Italia selama 37 hari.

Kini, dibutuhkan waktu 12 jam hingga 16 jam untuk melintasi Terusan Suez. Dari segi komersial, Terusan Suez merupakan jalur 12 persen perdagangan global dan sumber devisa Mesir.

Keberadaan kanal ini menghemat jarak tempuh 6.139 kilometer. Jarak ini setara dengan jarak lurus dari Tokyo di Jepang ke Rotterdam di Belanda.

World Economic Forum (WEF) pada 25 Maret 2021 mengeluarkan laporan dampak ekonomi kapal kargo Ever Give yang terjebak di Terusan

Suez. Kapal sepanjang 400 meter itu tertahan di tengah kanal selebar 200 meter selama enam hari, yakni 23-29 Maret 2021. Akibatnya, 369 kapal terpaksa antri. Akibatnya perekonomian dunia merugi sebesar 9,6 miliar dolar AS.

Israel tentu saja yang paling terpukul oleh krisis yang terjadi di Selat Bab a-Mandab saat ini. Surat kabar The Times of Israel melaporkan bahwa premi asuransi untuk kapal berbendera Israel atau dioperasikan oleh perusahaan Israel naik hingga 250 persen. Biaya pengoperasian satu kapal saja mencapai 1 juta dollar AS untuk sekali pelayaran.

Bagi Israel, 99 persen impornya dilakukan melalui laut. Hingga 25 persen impor dan ekspor Israel mengalir ke dan dari Asia. “Saat ini, pelabuhan terbesar di Haifa, Eilat dan Ashdod sangat sepi,” kata Profesor Kebijakan Maritim di Universitas Haifa Shaul Chorev.