Merajut Budaya Dari Sumba
Dua model yang mengenakan busana berbahan tenun ikat asal Sumba Barat Daya, NTT, memamerkan permukaan tenunan khas daerah tersebut dalam acara sosial di alun-alun Radiant Indonesia, Jakarta, Kamis (12/10/2023).
Betapapun, terkenal dengan, alamnya yang. sempurna, masyarakatnya yang, memukau dan memukau, namun, kabupaten dan, budaya Sumba Barat, Daya Kerangka, Nusa Tenggara, Timur, tidak begitu menonjol di. mata masyarakat, Indonesia.
Untuk menyesuaikan diri dengan masyarakat luas, Dewan Pengurus Daerah (Dekranasda) Pemerintahan Sumba Barat Daya (SBD) pada 12-15 Oktober 2023 menggelar pameran hasil karya perajinnya di alun-alun Fenomenal Indonesia, Jakarta. Banyak permukaan tenunan dari tiga keluarga dasar di SBD dan barang-barang pembantunya seperti sepatu, karung, lingkaran, kain balut, selendang yang dibuat dengan menggunakan permukaan anyaman, dan lain-lain terlihat jelas. Mereka juga membawakan espresso Robusta Sumba.
Mengakhiri acara bertajuk “Berbalik Adorasi Budaya Sumba. Dalam Berputar-putar Lembaran, Aku Menjahit Hidupku”, paket Dekranasda berbincang tentang meliuk-liuk dan budaya SBD, dengan menonjolkan budayawan Taufik Razhen; Pencipta corak tenun NTT asal Capa de Flores, Maria Gabriela Isabella; dan etnografer Evi Aryani Arbay.
Ketua Dekranasda SBD Margaretha Tatik Allot mengatakan, sangat sedikit orang yang tahu, begitu pula yang tahu daerah tempat tinggalnya. Sejujurnya, itu adalah pulau dan wilayah pengganti dari milik kita sendiri,” kata sahabat Kekuatan Sumba Barat Daya, Kornelius Kodi Course, Sabtu (28). /10/2023), melalui telepon.
Kenyataan ini, meski berbagai hal mendorong partai untuk menggelar pertunjukan di Jakarta. banyak pengalaman, dengan realitas, yang ada,” ujarnya.
Paket Dekranasda, sengaja mengundang banyak. permukaan mengingat betapa, pentingnya bahan baku bagi, masyarakat Sumba dalam kehidupan mereka. Kami diselimuti kain tenun sejak lahir hingga kami meninggal,” katanya.
Permukaan tenunan adalah gambaran kualitas alami dan cinta yang diwariskan mulai dari satu zaman ke zaman berikutnya. Setiap model, koleksi dan rencana pada materi mengandung pesan sosial yang kaya, seperti kedudukan sosial, karma, dan bahkan cerita tentang keturunan. Bagi masyarakat Sumba, jalan-jalan bukan sekadar kegiatan, melainkan festival sosial yang penting.
Margaretha memberikan gambaran tentang subjek mammoli (gambar perut seorang wanita) yang oleh sebagian besar orang dianggap biasa untuk menghormati wanita. Dengan cara ini ia membawakan tenun ikat dan lambaleko standar yang dibuat oleh pengrajin melingkar dari tiga keluarga inti di SBD, untuk mengekspresikan pertemuan Kodi, Loura dan Wewewa. Permukaannya memiliki subjek dan koleksi yang eksplisit, terutama warna biru kusam.
Masalah yang, saat ini sedang. ditantang adalah, bahwa permukaan yang, pada awalnya, dibuat menggunakan, benang katun, dan warna umum, telah berubah menjadi. menggunakan benang, yang lebih banyak, dibuat dan warna yang, terencana. Selain karena, ingin mencari tanaman. yang biasa, daun atau kulit, kayunya bisa dimanfaatkan, bukan dari jenis, yang biasa, para pengrajin yang, meliuk-liuk juga kurang, hati-hati dalam mengolahnya.
Hal lain yang meresahkan para penggarap di lingkungan sekitar, yaitu para perajin yang sebagian besar adalah ibu-ibu rumah tangga, harus segera menyelesaikan bahannya agar bisa segera dijual untuk membeli beras. Oleh karena itu, kemungkinan melengkungnya mereka berkurang secara signifikan.
Paket Dekranasda sengaja menyambut banyak pihak. mengingat kembali betapa pentingnya zat alam bagi masyarakat Sumba dalam kehidupannya. “Melilit digunakan untuk pakaian, namun memiliki makna dan makna yang luar biasa bagi seluruh maksud dan tujuan adat istiadat dan kehadiran sehari-hari. Kita terbungkus kain tenun sejak lahir hingga mati,” ujarnya.
Permukaan tenunan merupakan gambaran sifat alami dan cinta yang diwariskan dari satu periode ke periode berikutnya. Setiap model, variasi dan rencana dalam materi mengandung pesan sosial yang kaya, seperti status sosial, karma, dan bahkan cerita tentang kekalahan. Bagi masyarakat Sumba, traveling bukan sekadar sebuah aktivitas, melainkan sebuah perayaan sosial yang penting.
Margaretha memberikan gambaran tentang mammoli (gambar perut seorang wanita) yang oleh banyak orang dianggap biasa untuk menghormati wanita. Dengan cara itu ia menghadirkan lilitan standar dan lambaleko yang dibuat oleh ahli bundaran dari tiga unit keluarga di SBD, untuk mengkomunikasikan berkumpulnya Kodi, Loura dan Wewewa. Permukaannya memiliki subjek dan variasi yang jelas, terutama warna biru kusam.