Israel Dan Hamas Tidak Perduli Tentang Usulan Damai Mesir

Israel Dan Hamas Tidak Perduli Tentang Usulan Damai Mesir

Israel Dan Hamas Tidak Perduli Tentang Usulan Damai Mesir – Mesir menawarkan solusi gencatan senjata. Hamas menolak dialog sebelum Israel stop agresinya. Sementara PM Benjamin Netanyahu tak mau stop sampai Hamas hancur.

Mesir menawarkan solusi gencatan senjata yang ”ambisius” untuk mengakhiri perang Israel melawan Hamas dan sejumlah kelompok perlawanan lain di Gaza. Sayangnya, Israel-Hamas tidak acuh pada tawaran itu.

Dalam laporan pada Selasa (26/12/2023), Reuters menyebut tawaran itu ditujukan juga ke Amerika Serikat dan Uni Eropa. Kairo menawarkan tiga tahapan dalam bina damai itu.

Pertama, Israel menarik seluruh pasukannya dari Gaza. Kedua, pembebasan seluruh sandera Hamas di Gaza dan warga Palestina yang ditawan Israel. Terakhir, pembentukan pemerintahan persatuan Palestina di Gaza.

Menurut Reuters, kecil kemungkinan Hamas menerima tawaran itu. Hamas terutama disebut keberatan dengan gagasan ketiga. Sebab, hal itu berarti Hamas kehilangan kendali atas Gaza yang dikontrolnya sejak 2007.

Hamas juga keberatan soal mekanisme penghentian pertempuran. ”Hamas tidak akan berunding jika agresi tidak dihentikan sepenuhnya. Hamas tidak akan menyetujui gencatan senjata sementara atau sebagian dalam jangka waktu singkat,” kata pejabat senior Hamas yang diyakini berbasis di Qatar, Izzat Rishq.

Jihad Islam yang juga menawan sandera di Gaza bersikap sama. Setiap pertukaran tahanan harus didasarkan pada prinsip ”semua untuk semua”. Artinya, Hamas dan Jihad Islam akan membebaskan semua sandera yang ditahan di Gaza. Di sisi lain, Israel juga harus membebaskan semua warga Palestina yang dipenjara di Israel.

Pejabat Jihad Islam, Ali Abu Shaheen, menegaskan, agresi terhadap Palestina harus diakhiri. Jihad Islam tidak mendukung gencatan senjata sementara.

Meski demikian, Jihad Islam mengindikasikan babe138 mau membahas tawaran Mesir ini secara internal. ”Kami akan pelajari ide-ide Mesir di tingkat pimpinan dan berkonsultasi dengan faksi-faksi Palestina lainnya untuk mencapai posisi bersatu,” kata Abu Shaheen.

Media Qatar, Al Jazeera, melaporkan, Qatar bersama Mesir bersama membahas usulan penarikan pasukan Israel dari Gaza. Tahap itu berupa dua pekan gencatan senjata dan dapat diperpanjang menjadi total empat pekan.

Sementara soal sandera Hamas dan kelompok lain di Palestina, pembebasan terutama fokus pada 40 orang. Mereka terdiri dari perempuan, anak-anak, dan laki-laki lanjut usia. Adapun Israel diminta membebaskan 120 orang dari kategori sama.

Selama masa pembebasan dan gencatan senjata itu, Israel menarik tank dan aneka kendaraan tempur dari Gaza. Selain itu, truk bantuan dibebaskan masuk ke Gaza.

Media Israel, Times of Israel, melaporkan soal dialog internal Palestina dengan fasilitasi Mesir. Dialog itu untuk mewujudkan pemerintahan persatuan di Gaza.

Jika kedua tahapan itu lancar, maka bisa memasuki tahap pembahasan penghentian perang secara permanen. Selain itu, juga pembebasan seluruh sandera dan tahanan di Gaza dan Israel.

Di tahap ini, bukan hanya tank dan kendaraan lapis baja, melainkan seluruh pasukan Israel ditarik dari Gaza. Warga Gaza juga harus dibolehkan kembali ke lokasi tempat tinggal mereka sebelum perang meletus. Sampai sekarang, Israel masih melarang warga Gaza kembali ke tempat asalnya.

Bukan hanya dari Gaza, dari Israel pun ada indikasi penolakan usulan Mesir. Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu menegaskan akan terus menyerang Gaza. Bahkan, dalam pertemuan Partai Likud, ia menekankan seluruh warga Gaza harus ke luar ke negara lain jika perang mau berhenti.

Koordinator tim Perserikatan Bangsa-Bangsa di Gaza, Gemma Connell, mengingatkan bahwa kondisi di Gaza memprihatinkan. Sebab, ribuan orang yang sudah berkali-kali mengungsi harus mengungsi lagi dan semakin tidak tahu harus lari ke mana.

”Tidak ada tempat yang aman lagi di Rafah. Orang sudah tidak tahu harus berlindung ke mana lagi. Mereka seperti bidak-bidak catur yang harus berpindah-pindah setiap kali ada perintah evakuasi,” ujarnya.

Hampir tiga bulan berkecamuk, perang Hamas-Israel menewaskan sekitar 19.000 jiwa dan melukai 50.000 warga Palestina di Jalur Gaza. Hal ini membuat sejumlah wilayah, terutama Bethlehem dan sekitarnya, menyatakan sikap solidaritas dengan tidak merayakan Natal secara meriah.

Selain sebagai aksi solidaritas, Bethlehem menjadi wilayah yang cukup terdampak, termasuk secara ekonomi, akibat perang di Gaza. Sejak awal Oktober, akses ke Bethlehem dan kota-kota Palestina di Tepi Barat semakin sulit. Hal ini membuat sektor pariwisata yang menjadi andalan di kota-kota sekitar Tepi Barat pun mati suri.

Natal biasanya akan menjadi kesempatan bagi turis-turis dari seluruh dunia bersama warga Bethlehem merayakan sukacita kelahiran Yesus dengan lampu terang warna-warni yang meriah. Namun, kali ini tidak ada gelimang cahaya berwarna di Bethlehem. Pohon natal besar yang menjulang di Lapangan Manger di depan Gereja Nativity yang dipercaya sebagai tempat lahir Yesus Kristus pun tidak ada.

Padahal, dalam perayaan-perayaan Natal sebelumnya, kemeriahan dan kemegahan di Bethlehem selalu menarik ribuan turis dari negara-negara di dunia. Perekonomian di kota ini biasanya ditopang sektor pariwisata hingga 70 persen. Hal ini termasuk dari perayaan Natal tahunan yang digelar sejumlah denominasi, baik Armenia, Katolik, maupun Ortodoks.

Kegetiran perang menjadi hal yang sangat memukul. Tak hanya orang dewasa, hingga pertengahan Desember 2023, setidaknya ada 7.000 anak tewas akibat serangan bom Israel.

Pada Sabtu, 16 Desember 2023, Lembaga Patriak Latin Jerusalem menyampaikan sebuah pernyataan tertulis bahwa seorang perempuan Kristen dan putrinya tewas akibat tembakan tentara Israel. Tragedi tersebut terjadi di halaman Gereja Katolik Holy Family di Gaza.

Lebih pahit lagi, Gereja Holy Family merupakan tempat keluarga-keluarga Kristen berlindung sejak perang Hamas-Israel berkecamuk. Dua korban, perempuan dan anak perempuannya tersebut, ditembak tanpa ada peringatan sebelum tembakan dilepaskan.

Kegetiran perang akhirnya membuat pembatalan perayaan Natal sudah diserukan oleh sejumlah pihak. Wali Kota Bethlehem Hanna Hanniyah, sejak akhir November, sudah memutuskan untuk tidak merayakan Natal dan menggantinya dengan kegiatan solidaritas terhadap warga Palestina di Gaza. Disebutkan pula, di Bethlehem, Natal tidak pernah dirayakan sesenyap ini, bahkan selama pandemi Covid-19.

Sementara itu, pemerintah kota dan dewan gereja di Ramalah, pusat administrasi Tepi Barat, pun mengeluarkan pernyataan bahwa perayaan Natal tahun ini dibatalkan. Biasanya Ramallah termasuk tempat yang paling banyak dikunjungi dengan upacara penyalaan pohon natalnya.

Para uskup gereja-gereja Kristen di Jerusalem pun meminta semua paroki Kristen membatasi perayaan Natal dan mengumpulkan sumbangan untuk para korban perang. Pun di Nazareth, kampung halaman Yesus, Uskup Ortodoks Galilea Pastor Yousef Matta juga mengatakan bahwa para pemimpin gereja sudah mengimbau segenap paroki untuk membatalkan perayaan Natal.

Merujuk berita yang ditulis The Guardian pada 20 Desember 2023, jumlah korban perang yang dirilis oleh Kementerian Kesehatan di Gaza mencapai 19.667 jiwa dengan korban luka 52.000 orang.

Korban perang meninggal didominasi oleh anak-anak dan perempuan. Kantor berita Reuters menyebut persentasenya hingga 70 persen. Belum lagi ada ribuan korban yang masih berada di antara reruntuhan bangunan yang hancur.

Sebagai bentuk protes dan pesan perdamaian untuk menunjukkan simpati terhadap nasib anak-anak di Palestina, terutama yang berada di Gaza, Gereja Lutheran di Bethlehem mendekorasi goa natal mirip dengan puing-puing bangunan di Gaza yang dihancurkan bom Israel.

Munther Isaac, Imam Gereja Lutheran di Bethlehem, mengatakan, ”Jika Kristus dilahirkan hari ini, dia akan lahir di bawah reruntuhan dan penembakan Israel”